Selasa, 18 Juni 2013

Andai Saja Kau di Sini



Andai saja kau di sini
Aku tak butuh lagi cahaya
Kaulah suluh gelapku berjalan
Menembus rona tabir kehidupan

Andai saja kau di sini
Dunia pasti milik kita
Merajut asa di suatu masa
Menjadi ikatan cinta persahabatan

Andai..
Dan andai kau di sini
Jalan kan terbentang penuh makna
Walau ku lelah melangkah
Hati ini lillah
Meski ujian datang mendera
Yakin, jiwaku takkan goyah
Posted on 04.59 | Categories:

Sabtu, 08 Juni 2013

Ayah,, Aku Mohon Maaf


Dan pohon kemuning akan segera kutanam
Satu saat kelak dapat jadi peneduh
Meskipun hanya jasad bersemayam di sini
Biarkan aku tafakkur bila rindu kepadamu
Walau tak terucap aku sangat kehilangan
Sebahagian semangatku ada dalam doamu
Warisan yang kau tinggal petuah sederhana
Aku catat dalam jiwa dan coba kujalankan
Meskipun aku tak dapat menungguimu saat
terakhir
Namun aku tak kecewa mendengar engkau
berangkat
Dengan senyum dan ikhlas aku yakin kau cukup
bawa bekal
Dan aku bangga jadi anakmu
Ayah aku berjanji akan aku kirimkan
Doa yang pernah engkau ajarkan kepadaku
Setiap sujud sembahyang engkau hadir
terbayang
Tolong bimbinglah aku meskipun kau dari sana
Sesungguhnya aku menangis sangat lama
Namun aku pendam agar engkau berangkat
dengan tenang
Sesungguhnyalah aku merasa belum cukup
berbakti
Namun aku yakin engkau telah memaafkanku
Air hujan mengguyur sekujur kebumi
Kami yang ditinggalkan tabah dan tawakkal
Ayah aku mohon maaf atas keluputanku
Yang aku sengaja maupun tak kusengaja
Tolong padangi kami dengan sinarnya sorga
Teriring doa selamat jalan buatmu ayah
tercinta

Ebiet G. Ade
Posted on 05.08 | Categories:

Ruang Kita



 

Ruang Kita
 
Siang itu, matahari tetap bersinar terik
Membakar kulit setiap orang yang melewatinya
Membuat para pelaku bisnis enggan keluar dari
lingkarannya
Takut leka karena cuaca, katanya
Nikmatmu yang manakah yang akan engkau
dustakan
Hmm, benarlah firman kalam dariNya
pekiku dalam hati saat istirahat tiba
Ruang Kita
Tontonanku sembari makan siang kala itu
Televisi 17 inchi menahanku dari asyiknya makan
bersama
decak kagum juga heran aku tujukan pada
sosok Lelaki separuh baya
Pak saptono, iya itu namanya
Beliau dan juga anak bungsunya
Telah diliput oleh wartawan di salah satu stasiun
swasta
Lelaki pedagang keliling ikan cupang juga burung
dara , profesinya
Mencoba menjajakan dagangannya dengan
ditemani si warta, anak terakhir dari 5
bersaudara.
Mungkin ku bilang belum pantas dia mengikuti
jejak ayahnya
Bocah baru berumur 2,5 tahun rela ikut
merasakan kerasnya kehidupan Ibukota
Panas, Polusi, Hujan, dan sebagainya tak
menyurutkan langkahnya
Mungkin Hanya ini yang Dia bisa demi kebutuhan
keluarganya
Ketimbang milih jadi peminta-minta
"Mending milih jadi pedagang keliling begini mas,
walaupun hasilnya pas-pasan tapi
halal.."tuturnya. "Daripada jadi pengemis atau
gelandangan, yang kesehariannya meminta-
minta dan mengganggu lalu lintas", imbuhnya
lagi seraya membuatkan susu buat si warta
Hebat benar Bapak satu ini gumanku dalam hati
Terlihat senyum sumeh selalu tersirat di wajah
Beliau
Meski peluh membasahi raga tua
Entah, Dia serasa menahan gejolak batin di
relung jiwa
Yang tak mampu aku baca dengan kasat mata
"5menit lagi, pekerjaan akan segera dimulai.."
Suara peringatan itu membuyarkan lamunanku
tak terasa 30 menit aku terlena
menikmati makan siang sembari menonton
tayangan "Ruang Kita"
22-05-13, Cikarang
Posted on 04.58 | Categories:

Jumat, 07 Juni 2013

Dimana Keadilan Itu?

Dimana Keadilan Itu?


Dulu
Kupandangi citramu
Berhimpun mengeja fakta
Sayuk-sayuk riuh gempita
Menyibak tatanan angkara murka

Pranata keadilan menjelma bumerang
Meranggas daun-daun kenistaan
Merobek akar-akar kemungkaran
Di ranah para penguasa apriori

Kulihat
Ketika ukiran doa mereka  tertulis di ranahmu
Ketika tangan mereka menggenggam harapan padamu
Ketika jari jemari mereka merapat barisan dukungan padamu
Secuil asa telah bertumpu di pundakmu

Namun
Ukiran itu terhempas tak membekas
Barisan itu merenggang tak beraturan
Hanya menyisakan perih yang mendalam
Saat tanganmu melibas bebas
Dan mulutmu bergeming tak masuk akal

Lalu
Apakah keadilan itu mulai terjarah
Terkekang dalam penjara sandiwara belaka
Mungkinkah ada campur tangan dari pihak ketiga
Hingga terjadi pemutar balikkan fakta

Entahlah
Keadilan  macam apa yang bisa aku lukiskan!!
Posted on 20.02 | Categories:

Sabtu, 01 Juni 2013

Hitamku? Putihku?














Sunyi senyap aku termangu
Raga terpasung dalam gelap
Tengadah tangan pada Sang Pencipta
Hitam rupa merajalela

Diam
Merenung
Siapakah aku ini di sisiMu?
Inikah aku sebenarnya?

Hitamku melemahkan iman
Putihku menahan godaan

Luruh
Sujud bersimpuh ampunan
Isak tangis tak pelak ku tahan

Meski raga terpenjara
Namun beri hamba waktu lebih
Saat kebebasan diwaktu berdua denganMu
Tak pernah berakhir di tiap sepertiga malam
Posted on 09.28 | Categories:

Jumat, 31 Mei 2013

Doa Penulis

 Doa Penulis

Tuhan, aku harap kau punya waktu beberapa menit untukku. Aku punya beberapa permohonan pada-Mu.

Pada dasarnya, Tuhan, aku mohon bantuan-Mu agar aku dapat menjadi seorang penulis yang baik. Sebagai awal, bantu aku agar tidak terus-menerus membandingkan diriku dengan penulis-penulis lain. Aku bisa hancur kalau terus-menerus melakukan hal seperti ini: Aku adalah penulis yang lebih baik dari si Alan, lalu kenapa aku tak bisa sukses seperti dia? Kenapa tulisan-tulisanku tak bisa diangkat ke layar kaca? Kenapa si Barry yang mendapat perhatian lebih dari penerbit, dan bukan aku? Apa sih hebatnya si Carol sehingga bisa-bisanya dia mendapat ulasan sampai dua halaman di majalah New Yorker? Setiap kali aku memutar tv, yang muncul malah wajah si Dan di setiap talk show. Apa sih yang bikin dia spesial? Aku juga menulis cerita yang sama seperti mereka, tapi kenapa sih tulisanku bolak-balik ditolak penerbit?

Di sisi lain, aku takkan mungkin menjadi penulis seperti Frank yang bisa memakai pengalaman pribadinya dalam tulisan-tulisannya dengan begitu jujur. Dan si Gloria, dia punya ketajaman mata seorang seniman. Kalimat-kalimatnya begitu deskriptif dan nyata sehingga aku sadar akan keterbatasanku. Si Howard juga, dia sangat pro, tulisan yang kurampungkan sebulan penuh, cuma diselesaikannya dalam sehari dan dengan santai pula. Tuhan, bantu aku untuk tidak memikirkan kompetisi dengan penulis lain. Kesuksesan mereka tidak ada hubungannya dengan diriku. Kami punya cerita masing-masing. Kami punya gaya penulisan masing-masing. Kami memiliki karir masing-masing. Semakin sering aku membanding-bandingkan diriku dengan penulis lain, semakin sedikit energi yang bisa kupakai untuk menghasilkan karya tulis yang baik. Akhirnya aku cuma mengeluh akan kemampuan dan tulisan-tulisanku, dan hal ini hanya akan menghancurkan diriku sendiri.

Flannery O’Conner bilang bahwa setiap orang yang berhasil melewati masa kecilnya memiliki bahan untuk menulis sepanjang hidupnya. Aku percaya akan hal ini, Tuhan. Aku percaya bahwa setiap insan yang memiliki hasrat menulis fiksi, di dalam dirinya masing-masing tertanam kisah-kisah yang tidak akan pernah habis untuk dituliskan.

Bantu aku, Tuhan, untuk selalu jujur setiap duduk di depan laptop-ku. Bukan…bukan maksudku aku harus menulis non-fiksi. Fiksi adalah sederet kebohongan. Tapi biarlah fiksi-ku memiliki kebenarannya sendiri.

Saat karakter tokoh dalam tulisanku berbicara, bantu aku untuk mendengarnya dan menuliskan apa yang kudengar itu. Biarkan aku menggambarkannya, bukan dengan kalimat yang kukutip dari buku-buku lain, tapi dari apa yang ada di benakku. Tolong Tuhan, jangan biarkan aku menyepelekan pembacaku. Terkadang, hal ini justu menjadi godaan bagiku. Jika aku tak bisa menulis novel remaja tanpa menggurui, lebih baik aku tak menulis novel jenis ini. Jika aku anggap kisah gothik, misteri, dan koboi adalah sampah dan pembacanya adalah idiot, maka aku tak akan menghasilkan suatu tulisan yang baik dan mendapat kepuasan dari tulisan seperti ini. Biarlah aku menulis sesuatu yang kuhargai, dan biarlah aku menghargai orang-orang yang nantinya akan menjadi pembacaku.

Tuhan, biarlah sebuah kamus selalu berada di dekat-dekatku. Saat aku tidak yakin akan penulisan sebuah kata, aku akan membuka kamus. Begitu pun jika aku tak yakin akan arti sebuah kata, bantu aku agar tidak malas membuka kamus. Memeriksa penulisan dan definisi sebuah kata membutuhkan kerendahan hati, Tuhan. Kerendahan hati membuatku terjaga. Saat kerendahan hatiku dalam kondisi yang baik, setiap kesuksesan dan kegagalan yang datang akan lebih gampang kuterima. Aku dapat menyadari bahwa tulisanku tak akan pernah sempurna, dan kesempurnaan bukanlah tujuan utamaku. Yang bisa kulakukan adalah menulis sebaik mungkin.

Aku bisa begitu keras terhadap diriku sendiri, Tuhan. Jika aku menghasilkan tulisan 5 halaman setiap hari, lalu aku berkata pada diriku bahwa aku bisa menambahkannya hingga mencapi 6, 8, atau 10 halaman. Jika aku menulis suatu peristiwa tanpa mencari elemen utamanya, aku menuduh diriku sebagai orang yang ceroboh; jika aku melakukan riset, aku menyalahkan diriku telah membuang waktu yang bisa kupakai untuk merampungkan naskahku. Jika aku menulis ulang, aku menyebutnya percuma—cuma buang waktu. Jika aku tidak menulis ulang aku menyebut diriku pemalas. Penyiksaan diri semacam ini tidak produktif. Beri aku, Tuhan, keberanian untuk melalui hidupku tanpa hal-hal itu.

Bantu aku, Tuhan, untuk menjadi penulis yang bertumbuh. Ada banyak kesempatan untuk mencapai hal ini, untuk memperoleh keahlian dan pengetahuan dengan berlatih dan membuka mataku lebar-lebar. Setiap buku yang kubaca akan memberikan sebuah pelajaran jika aku mau menerimanya dengan lapang dada. Jika aku membaca tulisan yang lebih baik dari karyaku, biarlah aku dapat belajar darinya. Jika aku membaca karya tulis yang begitu buruk, baiklah aku belajar dari kekurangannya. Berikan aku keberanian untuk mengambil resiko. Ada satu titik di masa awal karir kepenulisanku, dimana aku menghasilkan tulisan tak bermutu, tulisan yang tak menantangku, tulisan yang tak lagi dapat kuhargai, tulisan yang tak lagi dapat membuatku bertumbuh. Aku melakukannya karena rasa takut. Aku takut mengambil resiko, baik secara ekonomi dan artistik, aku takut menghasilkan tulisan yang tidak akan diterbitkan. Aku hanya dapat bertumbuh jika aku rela mengembangkan diriku, mengambil resiko. Terkadang aku gagal, tentu saja, tapi bantu aku untuk selalu ingat bahwa aku selalu dapat belajar dari kegagalan itu, yang akan memberikan keuntungan bagiku dalam jangka panjang. Dan jika aku mengambil resiko dan ternyata gagal lagi, biarlah aku tetap ingat agar pada akhirnya memoriku dapat meringankan rasa sakit akan kegagalan itu.

Bantu aku untuk membuka diri pada pengalaman, Tuhan. Ada saatnya Tuhan, kala sebutir pil hijau di pagi hari bisa meningkatkan energi dan semangat menulisku. Tapi kemudian aku sadar bahwa aku hanya meminjam energiku untuk esok hari, sehingga tengaku terkuras habis. Ada kalanya juga, saat pil-pil dan minuman berenergi itu menyempitkan pandanganku seperti seekor kuda yang ditutup matanya. Aku pikir aku membutuhkan hal itu untuk menulis, Tuhan, tapi kemudian aku sadar bahwa aku dapat menulis lebih baik tanpa bantuan benda-benda itu.

Beritau aku juga, kapan tanggung jawabku sebagai penulis berawal dan berakhir. Bantu aku untuk berkonsentrasi pada segala hal dalam karirku yang dapat kukendalikan dan melepaskan hal-hal yang berada di luar kendaliku. Setelah aku mengirimkan naskahku pada penerbit, biarlah aku melupakannya hingga naskah itu sampai pada tujuannya. Mampukan aku untuk mengambil langkah sepantasnya, Tuhan, tanpa harus menghabiskan energiku untuk mencemaskan nasib naskahku. Tugas utamaku adalah menulis. Tugas keduaku adalah menawarkan tulisanku. Apa yang terjadi setelah itu adalah urusan orang lain. Jangan biarkan aku lupa, Tuhan, bahwa penerimaan dan penolakan bukanlah segalanya. Imbalan utama dari setiap kerja seni adalah pekerjaan itu sendiri. Sukses ada dalam setiap proses, bukan dalam hasilnya. Jika aku menulis dengan baik, aku adalah seorang yang sukses. Kemakmuran dan ketenaran mungkin saja menyenangkan tapi bukan menjadi hal utama. Biarkan aku merasakan penolakan sebagai sebuah proses untuk mendapatkan pengakuan. Biarkan aku menerima kebuntuan sebagai sebuah proses kreatif. Pada akhirnya, Tuhan, bantu aku untuk dapat menerima hal-hal di luar kendaliku. Dan bantu aku untuk senantiasa mengucap syukur, Tuhan, bahwa aku adalah seorang penulis, bahwa aku melakukan pekerjaan yang begitu kucintai, dan aku tak membutuhkan ijin siapa pun untuk melakukannya. Terima kasih untuk semuanya. Dan terima kasih telah mendengarkanku.


[share from Ernita Die tj's note "Doa Seorang Penulis")
Posted on 22.32 | Categories: